Selasa, 05 Januari 2016

Kaus PHK Di PT. Philips Baam

KASUS PHK DI PT.PHILIPS BATAM



PENDAHULUAN

Pekerjaan merupakan hal yang penting saat ini untuk setiap orang untuk mendapatkan nafkah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk diri sendiri ataupun keluarga. Banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan bagi setiap orang yang mau bekerja dan memenuhi persyartan untuk dapat bekerja di perusahaan tersebut. Tapi bukan berarti sudah tenang dan sejahtera jika sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, terkadang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak yaitu pihak perusahaan dan pekerja, seperi PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja). Banyak terjadi kasus-kasus PHK di Indonesia yang dikarenakan berbagai hal yang sulit untuk diseleseikan baik iu soal gaji atau perserikatan buruh yang tidak diijinkan oleh pihak perusahaan, seperti kasus di PT.Philips batam.


TEORI

PHK seringkali disamakan dengan pemecatan secara sepihak oleh perusahaan terhadap pekerja karena kesalahan pekerjanya, sehingga kata PHK terkesan negatif. Padahal, pada kenyataannya PHK tidak selalu sama dengan pemecatan. Dalam UU No 13/2003, Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha . PHK dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara sukarela dan tidak sukarela. PHK sukarela merupakan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja (pengunduran diri) tanpa adanya paksaan atau intimidasi dan disetujui oleh pihak perusahaan. PHK tidak sukarela terdiri dari: (1) PHK oleh perusahaan baik karena kesalahan pekerja itu sendiri maupun karena alasan lain seperti kebijakan perusahaan; (2) Permohonan PHK oleh pekerja ke LPPHI (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) karena kesalahan pengusaha; (3) PHK karena putusan hakim dan (4) PHK karena peraturan perundang-undangan.

Jangan lupa bahwa dalam suatu kejadian PHK, kedua pihak sama-sama merugi. Pekerja merugi karena kehilangan mata pencaharian, dan perusahaan merugi karena kehilangan aset sumber daya manusia serta kehilangan modal yang telah dikeluarkan untuk recruitment dan peningkatan kompetensi pekerja (pelatihan dan pendidikan). Karenanya, untuk dapat melakukan analisis etika PHK, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang netral mengenai PHK itu sendiri.

Untuk PHK tidak sukarela, etika menjadi lebih kompleks karena ada salah satu pihak yang tidak menyetujuinya. Dalam makalah ini, PHK tidak sukarela yang akan dibahas adalah jenis pertama, yaitu PHK oleh perusahaan. Terdapat bermacam-macam alasan PHK, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pertama, karena pekerja (melakukan kesalahan berat atau melanggar peraturan perusahaan); kedua, karena perusahaan (pailit, merugi atau melakukan efisiensi); ketiga PHK yang tidak bisa dihindarkan (selesainya kontrak, pekerja sakit, meninggal dunia atau memasuki masa pensiun).


ANALISIS

Solidaritas.net, Batam –Buruh yang telah dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan pihak manajemen perusahaan PT Philips yang berlokasi di Panbil Industrial Estate, Jl Ahmad Yani, Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau itu telah menemukan kesepakatan untuk menyelesaikan kasus tersebut di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Batam.

Kesepakatan bersama itu ditandatangani kedua belah pihak, Jumat (19/6/2015). Selain itu, pihak manajemen perusahaan juga berjanji akan membayarkan upah dan semua hak buruh selama proses PHK hingga ada putusan dari PHI, dan mengijinkan buruh untuk berserikat. Namun, para buruh yang selama ini melakukan mogok kerja, juga harus kembali bekerja seperti biasa dan menandatangani surat pernyataan untuk tak melakukan mogok kerja lagi.

“Berita baik tentang mogok Philips. Telah ditandatangani kesepakatan, oleh kedua belah pihak, di mana intinya: 1. Perselisihan dilanjutkan ke PHI, 2. Mogok dihentikan, 3. Selama proses PHI, upah karyawan yang di-PHK tetap dibayar, 4. Demi UUD 1945, UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 21 Tahun 2000, pekerja berhak mendirikan Serikat Pekerja di perusahaan,” tulis salah satu pengguna media sosial Facebook bernama Dedi Suryadi di grup Facebook WAJAH BATAM, seperti dikutip oleh Solidaritas.net, Minggu (21/6/2015).

Dalam kesepakatan bersama itu, juga ditegaskan bahwa selama proses PHK tersebut masih berlangsung, kedua belah pihak dilarang melakukan segala tindakan intimidasi. Selain itu, mereka juga harus mentaati dan melaksanakan putusan PHI yang telah berkekuatan hukum tetap nantinya. Kesepakatan bersama itu ditandatangani oleh Manajer HRD PT Philips Batam Agustia Wulandari dan Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI) PT Philips Batam Muldidanda.

“Pertarungan akan dilanjutkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sekarang kita tinggal adu kuat argumen dan lawyer di PHI. Mudah-mudahan, pengusaha Philips ga ada yang dipenjara karena menghalangi pendirian Serikat Pekerja nantinya. Kita lihat, apa duit masih bisa berkuasa di PHI nanti. Selamat atas kemenangan kawan-kawan PUK Philips dalam melawan penindasan,” tambah keterangan dari pengguna Facebook, Dedi Suryadi itu.

Seperti pernah diberitakan Solidaritas.net, kasus PHK ini sendiri diduga bermula dari aktivitas mereka dalam berserikat. PUK SPEE FSPMI PT Philips Batam baru didirikan dan pengurusnya dilantik DPC FSPMI Batam pada 15 Maret 2015. Pihak perusahaan pun mulai mengintimidasi pengurus dan anggota PUK SPEE FSPMI PT Philips Batam, serta menyuruh mereka berhenti berserikat. Setelah pencatatan PUK SPEE FSPMI PT Philips Batam resmi keluar dari Disnaker Batam, pada 10 April 2015, para pengurus serikat pekerja itu pun menerima surat PHK.

“Total yang di-PHK semuanya 90 orang, dengan alasan efisiensi. Padahal perusahaan sedang untung. Kami punya bukti-bukti kuat tentang perusahaan sedang untung. 90 orang itu separuh anggota, separuh non anggota,” jelas Muldidanda saat dihubungi Solidaritas.net.

Mereka pun menggelar aksi mogok kerja sebagai bentuk penolakan terhadap PHK sepihak itu. Sejak tanggal 3 Juni 2015, para buruh yang didominasi perempuan itu melakukan aksi mogok kerja di depan pintu gerbang perusahaan. Bahkan, pada puncak aksi mogok kerja itu, sebanyak 600 buruh di perusahaan itu ikut serta dalam aksi mogok kerja sebagai bentuk solidaritas. Akibatnya, aktivitas produksi perusahaan pun terganggu selama beberapa hari.

Dapat dilihat dari kasus tersebut bahwa kasus PHK disebuah perusahaan itu sulit untuk dipecahkan sampai harus ada pihak ketiga yang menyeseleseikannya. Bisa dibilang manajemen dari perusahaan tersebut tidak  bisa mengatasi masalah internal dalam perusahaanya sendiri sehingga menyebabkan kerugian dari kedua belah pihak, baik itu dari pihak perusahaan ataupun dari pihak pekerja.
















0 komentar:

Posting Komentar